PUTRI AULIA @S18-PUTRI
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia dinilai sudah menjadi basis produksi manufaktur terbesar di ASEAN. Hal ini seiring dengan upaya pemerintah saat ini yang ingin mentransformasi ekonomi agar fokus terhadap pengembangan industri pengolahan nonmigas. Hal ini dibuktikan dengan angka Manufacturing Value Added (MVA) di industri manufaktur yang menduduki posisi paling atas di antara negara - negara ASEAN dengan nilai sebesar 4,5%. Pertumbuhan yang berkelanjutan ini harus dipastikan bahwa perusahaan memiliki SDM yang berpengetahuan, kemampuan, dan kompetensi untuk bekerja secara efektif pada lingkungan yang dinamis dan semakin kompleks. Dengan demikian, penting bagi perusahaan untuk mempunyai program pengembangan SDM bukan hanya mengejar tujuan bisnis semata, namun bagaimana tumbuh secara berkelanjutan.
Tumbuh berkelanjutan (sustainable growth) di era industri 4.0 tentu berbeda dengan era sebelumnya. Era Industri 4.0 ini memberikan tantangan yang lebih banyak menyinggung area teknologi, terutama teknologi nirkabel. Mobil otomatis tanpa supir, sektor retail yang tidak membutuhkan SDM lagi bahkan pelayanan pelanggan dengan menggunakan robot akan menjadi pemandangan yang lumrah di era 4.0 ini. Oleh karena itu, sangat penting memberikan ruang untuk SDM yang fasih menggunakan teknologi tersebut, yaitu kaum milenial dan gen Z.PermasalahanDi era industri 4.0 ini, gelombang pekerja yang berumur 18 s/d 30 tahun telah memasuki angkatan kerja. Kelompok kerja ini disebut kaum milenial, yang identik dengan perkembangan teknologi.II. METODE PENELITIAN
Metode
penelitian ini adalah
analisis diskriptif dengan
menguraikan data-data yang
didapat dengan cara
melalui studi kepustakaan dan selanjutnya di formulasikan dari hasil
studi kepustakaan untuk di analisis.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Era Fenomena
Industri 4.0 diperkenalkan pertama
kali pada tahun
2011 di Jerman.
Konsep 4.0 ini
memperkenalkan revolusi teknologi yang menggunakan sistem nirkabel
(physic cyber system), internet of things(IoT), dan interaksi informasi antara
manusia ke mesin ataupun mesin ke mesin. Era
Industri 4.0 ini
telah mengubah kondisi
kerja dengan otomatisasi
dan kecerdasan buatan
(artificial intelligence). Teknologi 3D printing, kendaraan otomatis
tanpa supir, toko retail tanpa pegawai menjadi contoh praktis dari revolusi
industri 4.0. Aspek positif dari industri 4.0 ini adalah penciptaan nilai
tambah (value creation) hingga pada proses kerja yang lebih efisien dan
perumusan model bisnis yang baru. Namun
perubahan teknologi ini juga
menyisakan beberapa hal
negatif, dalam hal
ini yaitu perubahan
pekerjaan, kemampuan kerja, dan cara bekerja. Banyak pekerjaan
yang akan hilang dan digantikan dengan teknologi. Dengan demikian tantangan ini
harus dihadapi dengan cara melakukan adaptasi pada sektor pendidikan dan
pengembangan SDM. Era Industri 4.0 tidak dapat hanya dilihat dari segi teknologi
robotik ataupun otomatisasi produksi, namun harus dilihat dari secara
keseluruhan pada proses bisnis, mulai dari tahap pembelian material, proses
produksi, hingga distribusi ke pelanggan. Di semua area ini, otomatisasi proses
dibutuhkan, agar pekerjaan berjalan lebih efisien sehingga menjadi competitive
advantage. Dengan adanya otomatisasi termasuk dalam hal pengumpulan dan berbagi
informasi, proses pengambilan
keputusan menjadi lebih
cepat. Walaupun dengan
kondisi serba otomatis
ini, manusia tetap
memperoleh bagian dalam
proses bisnis digitalisasi
ini yaitu sebagai
pemilik otak yang kan selalu menciptakan produk baru atau
pun solusi baru.
Sumber Daya Manusia di Era Industri 4.0
Industri 4.0 yang sarat dengan teknologi ini menjadi tantangan tersendiri bagi SDM yang akibat proses transformasi sosial (Schaar et al., 2019). Secara demografis, perubahan terjadi mulai dari berkurangnya SDM yang mempunyai pengetahuan kerja yang tetap (immanent knowledge) dan mengancam keberadaan pekerja yang minim kemampuan. Di lain pihak, satu generasi pekerja milenial mulai memasuki pasar tenaga kerja. Sampai hari ini pekerja dengan rentang umur 40 s/d 60 tahun mengambil proporsi besar di angkatan kerja. Jika era pekerja dengan rentang ini berakhir, maka jumlah pekerja yang memiliki kemampuan kerja yang mumpuni akan berkurang signifikan. Setelah era ini, pekerja kelahiran 1980-an dan 1990-an akan mengambil alih pasar tenaga kerja. Dalam situasi ini, banyak perusahaan sedang berusaha merekrut dan menahan (retain) tenaga kerja yang berpotensi besar di masa depan. Milenial mempunyai karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Adapun beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas milenial adalah sebagai berikut :
Milenial selalu tampil percaya diri. Mereka percaya diri dengan kemampuan mereka dan antusias untuk menyongsong masa depan pekerjaan
·
Milenial menganggap pekerjaan sosial dan
kerjasama tim akan menghasilkan output yang baik. Dengan demikian mereka dapat
bekerja secara tim
·
Milenial
menginginkan atmosfer kerja
dimana mereka mendapat
kepercayaan dan kebebasan
dari atasannya. Disamping itu
mereka cenderung ingin bekerja di tempat kerja dengan image dan lingkungan
kerja yang nyaman (misalnya perabotan yang bagus, gedung prestisius, dll)
·
Milenial
tidak menyukai deskripsi
kerja yang monoton.
Mereka senang belajar
dan mengalami hal
baru
·
Fleksibilitas
dalam hal waktu
kerja dan tempat
kerja menjadi dambaan
milenial. Mereka mahir
menggunakan teknologi komunikasi untuk menunjang fleksibilitas kerja
·
Milenial
cenderung menyukai aspek
kekeluargaan dari komunitasnya
ataupun lingkungan kerjanya.
Mereka juga menjunjung tinggi work life balance untuk kehidupan sosial
mereka
·
Milenial cukup tegas dengan istilah loyalitas.
Selama perusahaan memberikan tawaran dan memenuhi apa yang mereka butuhkan,
mereka cenderung tidak akan berganti pekerjaan
·
Milenial
tidak mempunyai isu
tertentu dengan pemberian
gaji. Gaji yang
baik itu bagus,
namun pengembangan diri untuk
milenial, lebih mereka harapkan
Teori Sumber Daya Manusia (Human Capital Theory)
Melalui dasar teori sumber daya manusia, mendefinisikan
human capital sebagai pengetahuan dan
kemampuan kerja yang
diperoleh melalui pendidikan
dan pelatihan. Teori
ini menjelaskan bahwa kapabilitas dan produktivitas
organisasi bergantung pada kapabilitas dan kemampuan spesifik dari SDM-nya. Teori
ini menekankan pada
pentingnya investasi pada
SDM dalam hal
kebutuhan akan pengetahuan
dan kemampuan kerja.
Hal ini memberikan
implikasi terhadap kemampuan
organisasi dalam attracting,
engaging, rewarding dan
developing SDM di
organisasi. Teori ini percaya bahwa
dengan SDM yang
unggul maka akan
menjadikan organisasi tersebut unggul.Pengembangan SDM tidak hanya serta
merta mengenai pengembangan kompetensi semata. Pengembangan budaya dan
iklim organisasi juga
menjadi penting untuk
mendukung kinerja SDM,
karena adanya perbedaan
persepsi dan motivasi
para SDM dalam
bekerja.
Budaya organisasi sangat mempengaruhi perilaku SDM-nya
melebihi sistem kontrol yang formal seperti prosedur dan
otoritas. Dengan demikian,
penting bagi pemimpin
di bagian HR
untuk membentuk budaya
organisasi yang kuat
dan sesuai dengan
strategi organisasi yang
akan digunakan. Ketika
SDM telah mengenal
budaya organisasinya, maka cara kerja akan menjadi lebih akrab bagi SDM
dan meningkatkan moral, semangat, kerjasama tim, pembagian informasi, dan
penerimaan ide baru. Menurut Schneider, Ehrhart and Macey (2012), pendekatan
budaya yang berbeda akan menghasilkan nilai dan perilaku yang berbeda pula. Hal
tersebut akan berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Ada 4 tipe budaya
yang dikemukakan berserta nilai yang diharapkan, yaitu Clan (internal dan
fleksibel pada karyawan), Adhocracy (eksternal dan fleksibel pada pertumbuhan
organisasi), Market (eksternal dan stabil dengan fokus kompetisi), dan
Hierarchy (internal dan stabil dengan fokus struktur organisasi). Secara detail
dapat dilihat pada Competing Values Framework (CVF) Tabel 1. CVF ini
menggambarkan budaya yang muncul dalam perusahaan dan dengan tujuan yang
berbeda bahwa variabel budaya tidak muncul secara random, namun cenderung
mengacu pada keberhasilan yang ditetapkan oleh organisasi. Penetapan tersebut
harus berfokus pada asumsi, keyakinan (beliefs), nilai-nilai (values), dan
perilaku (behavior) yang diharapkan. CVF ini memiliki dimensi yang saling
terkait dengan indikator efektivitas organisasi, diantaranya perilaku karyawan
(employee attitudes), kinerja operasi (operational performance), kinerja
keuangan (financial performance). Skema pada CVF telah terbukti berperilaku seperti
yang telah diprediksi, sebagai contoh organisasi dengan
budaya Clan akan
memiliki karyawan yang
lebih puas dan
memiliki komitmen, di
lain hal mempunyai operasional yang baik dan kinerja
keuangan yang baik pula.
Tantangan generasi pekerja dan pengelolaan SDM di era 4.0
Pengelolaan SDM di era 4.0 harus dilengkapi dengan strategi yang
tepat sehingga menghasilkan
tindakan yang tepat
dalam mencapai tujuan
organisasi. Persaingan semakin ketat, kebutuhan SDM berkualitas yang
dapat mendukung pencapaian goal perusahaan sangat penting, dan kemampuan
perusahaan dalam mengelola karyawan yang memiliki nilai sehingga termotivasi
dan mengeluarkan kemampuan terbaik menjadi
poin utama yang
harus dimiliki dalam
rangka mencapai Sustainable
Competitive Advantage.Pengembangan framework pada Business Model Delta
Airlines yang dibuat untuk menggambarkan 5 driver utama dalam
meningkatkan core competency
karyawan, seperti Internal
Promotion, Extensive Training,
High Pay, Non-union dan
Flexible Work Rates,
dan digabungkan dengan
The Competing Values
Framework untuk mengakomodasi budaya perusahaan, menjadi
sangat significant karena 5 driver bisnis model Delta Airlines bersifat sangat
umum dan hampir dimiliki oleh mayoritas perusahaan. Sehingga, sebuah driver
utama lainnya yang berasal dari The CompetingValues Framework dapat dijadikan
sebagai strategi perusahaan dalam mengelola SDM yang tidak hanya terbatas pada
penyediaan kebutuhan utama dan teknologi, melainkan juga mengakomodasi SDM yang
terlibat dalam pekerjaan dan organisasi. Salah satu driver utama yang dapat
dipakai adalah dengan menciptakan Organization Cultureand Climate
yang tepat bagi
perusahaan, yang dapat
bertindak sebagai identitas
maupun sarana bagi perusahaan
dalam mengelola SDM yang terdiri dari multi generasi di era 4.0.
Strategi pengelolaan SDM peningkatan kinerja perusahaan
Berkelanjutan di era 4.0
Karakteristik angkatan kerja pada era 4.0 yang dikenal
milenial yang sulit mengubah kelemahan menjadi kesempatan untuk berkembang diri
sehingga fit terhadap pekerjaan dan organisasi yang juga terus berkembang.
Oleh karena itu,
perlu suatu strategi
pengelolaan SDM yang
tepat untuk mengatasi
angkatan kerja milenial
ini agar dapat
memberikan kinerja terbaik
untuk perusahaan sehingga
perusahaan dapat terus
bertumbuh secara berkelanjutan. Pengelolaan
SDM yang baik
harus dimulai dari
bagaimana mempersiapkan sistem
kerja yang dapat menunjang performansi kerja terbaik.
Ciri-ciri sistem kerja dengan performansi tinggi yaitu pengembangan
kemampuan kerja/skills yang
diperlukan untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan,
menetapkan kebijakan remunerasi dan manajemen kinerja, serta
memberikan motivasi (Armstrong, 2008).Strategi
pengelolaan SDM yang
berfokus pada peningkatan
kinerja perusahaan dapat
dianalisis dengan model AMO (Ability, Motivation, Opportunity).
Setiap karyawan akan memberikan performansi apabila memiliki 3 aspek, yaitu :
·
Kemampuan
(Ability), yaitu kemampuan
untuk melakukan tugas
karena memiliki pengetahuan,
kemampuan kerja / skill, dan bakat. Karyawan dapat memberikan
performansi terbaiknya bila dilengkapi dengan kemampuan kerja yang baik
(skilled), mempunyai pengalaman akan solusi masalah (experienced), mempunyai
komitmen terhadap apa yang dikerjakan (committed), dan
antusias dalam mengerjakan
tugas yang diberikan
(motivated).
·
Motivasi
(Motivation), yaitu keinginan
untuk melakukan tugas
atas keinginan sendiri
atau merasa harus melakukan tugas tersebut. Karyawan harus
diberi motivasi dengan
membangun budaya dan
iklim organisasi yang
mendukung pertumbuhan bisnis.
Peningkatan motivasi internal
dan kreativitas dapat
meningkatkan efektivitas dalam
pengambilan keputusan, terutama
dalam penerapan teknologi
informasi dan komunikasi
yang terbaru (Stock
and Seliger, 2016). Budaya dan iklim organisasi harus dapat menanamkan
semangat untuk bertumbuh (Growth), berusaha
untuk bekerja lebih
baik (Stimulation), memiliki
kemampuan untuk melihat
dan melakukan dengan
pendekatan berbeda (Variety),
dan mandiri dalam
berusaha (Autonomy).
·
Kesempatan
(Opportunity), yaitu struktur
pekerjaan dan lingkungan
yang mendukung serta
tempat untuk mengekspresikan diri.
dimana karyawan yang
sudah termotivasi harus
diberikan kesempatan untuk
berkembang dan bertumbuh, yaitu
memberi kesempatan dalam pengambilan resiko (Risk taking). Pengambilan resiko
menjadi salah satu media
pembelajaran yang baik
dalam menghasilkan performansi
karyawan yang baik.
IV. KESIMPULAN
Peningkatan kinerja SDM yang berkelanjutan pada organisasi
di era 4.0 dapat dilakukan dengan menerapkan strategi pengelolaan SDM yang
berfokus pada peningkatan kinerja perusahaan. Model AMO (Ability, Motivation,
Opportunity) merupakan model yang sesuai untuk digunakan dalam menghadapi
tantangan organisasi di era industri 4.0, karyawan akan memberikan performansi
yang optimal dalam bekerja di organisasi
apabila ketiga aspek
tersebut telah dimiliki.
Organisasi yang memberikan
peningkatan kompetensi karyawan, memiliki kultur organisasi yang baik,
dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar