Materi Pembelajaran 12
🎯 Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta diharapkan mampu
untuk:
- Memahami
dan menjelaskan konsep dasar dan perbedaan antara kewirausahaan
konvensional, kewirausahaan sosial, dan bisnis berkelanjutan.
- Menganalisis
berbagai model bisnis sosial dan hybrid serta mampu menentukan
model yang tepat untuk mengatasi permasalahan sosial.
- Menerapkan
kerangka Sustainable Business dan Triple Bottom Line (3BL)
dalam merancang strategi bisnis.
- Menilai
dan mengukur dampak sosial (social impact) dari sebuah
inisiatif kewirausahaan sosial.
- Mengidentifikasi
dan menganalisis studi kasus wirausaha sosial di Indonesia.
📝 Rangkuman
Modul ini membahas secara mendalam Kewirausahaan Sosial dan
Berkelanjutan, sebuah pendekatan yang menggabungkan prinsip-prinsip bisnis
dengan misi sosial untuk menciptakan nilai ganda: keuntungan finansial dan
dampak positif yang signifikan. Pembahasan dimulai dari definisi dan konsep
dasar, dilanjutkan dengan eksplorasi model bisnis yang unik (sosial dan hybrid).
Inti dari keberlanjutan dibahas melalui kerangka Triple Bottom Line
(People, Planet, Profit) dan Sustainable Business. Bagian krusial dari
modul adalah pengukuran dampak sosial sebagai indikator keberhasilan. Modul
diakhiri dengan studi kasus wirausaha sosial terkemuka di Indonesia.
🔑 Kata Kunci
Kewirausahaan Sosial, Social Enterprise, Dampak
Sosial, Keberlanjutan, Sustainable Business, Triple Bottom Line (3BL),
Model Bisnis Hybrid, Inovasi Sosial, Pengukuran Dampak (Impact
Measurement), Filantropi.
1. Pengertian dan Konsep Kewirausahaan Sosial
A. Definisi
Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) adalah
proses menciptakan nilai sosial dengan mengadopsi inovasi dan praktik yang
biasanya terlihat di sektor bisnis, non-profit, dan publik. Intinya, ini adalah
pendekatan berbasis pasar untuk perubahan sosial.
B. Perbedaan dengan Bisnis Konvensional dan Organisasi
Nirlaba
|
Aspek |
Bisnis Konvensional |
Organisasi Nirlaba (NGO) |
Kewirausahaan Sosial |
|
Tujuan Utama |
Maksimalisasi Laba (Profit Maximization) |
Misi Sosial/Penyelesaian Masalah Sosial |
Nilai Sosial & Keuntungan (Dual Mission) |
|
Sumber Daya |
Penjualan Produk/Jasa, Investasi |
Donasi, Hibah, Sumbangan |
Pendapatan Penjualan Produk/Jasa, Investasi Dampak |
|
Tolak Ukur Sukses |
ROI (Return on Investment), Keuntungan |
Jumlah Penerima Manfaat, Keberhasilan Program |
Dampak Sosial & Keberlanjutan Finansial |
C. Karakteristik Wirausaha Sosial
- Misi
Sosial yang Kuat: Inti dari organisasi adalah pemecahan masalah
sosial/lingkungan.
- Inovasi:
Mengembangkan solusi baru dan kreatif untuk masalah yang sudah lama ada.
- Keberanian
Beraksi: Tidak hanya berwacana, tetapi juga mengambil tindakan nyata
dan berisiko.
- Berorientasi
Pasar: Menggunakan mekanisme pasar (penjualan, pendapatan) untuk
mencapai keberlanjutan.
2. Model Bisnis Sosial dan Hybrid
Model bisnis sosial berfokus pada bagaimana organisasi
menghasilkan pendapatan sambil mencapai misi sosialnya.
A. Model Bisnis Sosial Murni (Pure Social Enterprise)
Misi sosial dan kegiatan bisnis saling terkait erat.
- Model
Pemasok Barang/Jasa ke Target Pasar yang Kurang Terlayani (Market
Intermediary Model): Perusahaan menghubungkan produsen dari
komunitas miskin/marjinal ke pasar formal (contoh: Fair Trade).
- Model
Peluang Kerja (Employment Model): Misi utama adalah menciptakan
lapangan kerja dan pelatihan bagi individu yang sulit mendapat pekerjaan
(contoh: mantan narapidana, penyandang disabilitas).
- Model
Biaya untuk Layanan (Fee-for-Service Model): Menjual layanan
sosial (misalnya pendidikan, kesehatan mikro) dengan biaya terjangkau
kepada target pasar.
B. Model Bisnis Hybrid
Menggabungkan elemen nirlaba dan laba dalam satu entitas
atau melalui struktur entitas ganda.
- Model
Dukungan Nirlaba (Nonprofit Support Model): Unit bisnis yang
mencari keuntungan (misalnya kafe, toko suvenir) dimiliki dan dioperasikan
oleh organisasi nirlaba, dengan keuntungan disalurkan sepenuhnya untuk
mendanai program sosial nirlaba tersebut.
- Model
Terintegrasi (Integrated Model): Misi sosial dan penciptaan
pendapatan berada dalam satu kegiatan/rantai nilai yang sama. Produk/jasa
secara inheren memberikan nilai sosial (misalnya menjual pupuk organik
kepada petani miskin).
- Model
Multi-Misi (Multi-Stakeholder Model): Melayani lebih dari satu
kelompok stakeholder dengan tujuan yang berbeda-beda, tetapi saling
mendukung.
3. Sustainable Business dan Triple Bottom Line
A. Pengertian Sustainable Business
Sustainable Business (Bisnis Berkelanjutan) adalah
bisnis yang beroperasi dengan cara yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri. Hal ini mencakup pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
B. Triple Bottom Line (3BL)
Konsep yang dipopulerkan oleh John Elkington, menekankan
bahwa perusahaan harus fokus pada tiga "bottom line" terpisah dan
sama pentingnya: People, Planet, Profit.
- People
(Sosial): Dampak sosial bisnis pada karyawan, pelanggan, komunitas,
dan semua stakeholder. Meliputi praktik tenaga kerja yang adil,
kesehatan, keamanan, dan kontribusi komunitas.
- Planet
(Lingkungan): Dampak lingkungan bisnis. Meliputi manajemen limbah,
jejak karbon, penggunaan energi terbarukan, dan konservasi sumber daya.
- Profit
(Ekonomi): Nilai ekonomi yang diciptakan organisasi. Ini bukan hanya
keuntungan bagi shareholder, tetapi juga nilai ekonomi yang
tersebar di komunitas (gaji, pajak, investasi lokal).
3BL = People + Planet +
Profit
C. Strategi Menuju Keberlanjutan
- Inovasi
Produk/Jasa: Mengembangkan produk/jasa yang secara inheren lebih
berkelanjutan (misal: pengemasan yang dapat didaur ulang, produk hemat
energi).
- Efisiensi
Operasional: Mengurangi pemborosan, konsumsi air, dan energi dalam
rantai pasokan dan operasi internal.
- Keterlibatan
Rantai Pasokan: Memastikan praktik etis dan berkelanjutan di seluruh supply
chain (contoh: pengadaan bahan baku yang adil dan ramah lingkungan).
4. Dampak Sosial dan Pengukuran Keberhasilan
A. Pengertian Dampak Sosial (Social Impact)
Dampak sosial adalah perubahan signifikan, positif, atau
negatif yang dialami oleh masyarakat atau lingkungan sebagai hasil dari suatu
intervensi atau aktivitas tertentu. Bagi wirausaha sosial, ini adalah hasil
dari misi inti mereka.
B. Pentingnya Pengukuran Dampak
Pengukuran dampak penting untuk:
- Akuntabilitas:
Kepada investor, donatur, dan penerima manfaat.
- Pembelajaran
& Peningkatan: Memahami apa yang berhasil dan mengapa, untuk
mengoptimalkan program.
- Daya
Tarik Investor: Menarik Impact Investors yang mencari
pengembalian finansial dan sosial.
C. Metode Pengukuran Keberhasilan
Pengukuran keberhasilan dalam kewirausahaan sosial tidak
hanya menggunakan metrik finansial, tetapi juga metrik dampak
sosial/lingkungan.
- Teori
Perubahan (Theory of Change/ToC): Kerangka kerja yang memetakan
hubungan kausal antara Input (sumber daya), Aktivitas (yang
dilakukan), Output (hasil langsung), Outcome (perubahan
jangka pendek/menengah), dan Impact (perubahan jangka panjang).
- Metrik
Dampak Kuantitatif:
- SROI
(Social Return on Investment): Nilai moneter dari dampak
sosial yang dihasilkan per unit mata uang yang diinvestasikan.
- Jejak
Karbon/Air: Untuk dampak lingkungan.
- Kenaikan
Pendapatan Penerima Manfaat: Untuk dampak ekonomi komunitas.
- Metrik
Kualitatif: Kisah sukses, kesaksian penerima manfaat, dan perubahan
perilaku yang diamati.
5. Studi Kasus Wirausaha Sosial Indonesia
A. Studi Kasus 1: Du'Anyam
- Model
Bisnis: Market Intermediary Model terintegrasi.
- Misi
Sosial: Pemberdayaan perempuan di daerah 3T (Terdepan, Terluar,
Tertinggal), khususnya di Flores, melalui kerajinan anyaman. Peningkatan
kesehatan ibu dan anak.
- Kegiatan:
Membeli produk anyaman (berbasis pandan/lontar) dari ibu-ibu pengrajin
dengan harga yang adil, menyediakan pelatihan keterampilan, dan
menyediakan akses ke layanan kesehatan.
- Dampak:
Peningkatan pendapatan, penurunan angka gizi buruk dan anemia pada ibu
hamil/anak.
B. Studi Kasus 2: Bank Sampah
- Model
Bisnis: Model Fee-for-Service dan Inovasi Sosial Lingkungan.
- Misi
Sosial: Pengelolaan sampah berbasis komunitas dan peningkatan
kesadaran lingkungan.
- Kegiatan:
Menerima sampah anorganik dari "nasabah" (warga) yang kemudian
dicatat sebagai tabungan uang. Sampah kemudian dijual ke pengepul/industri
daur ulang.
- Dampak:
Pengurangan volume sampah yang berakhir di TPA, peningkatan nilai ekonomi
sampah, dan edukasi lingkungan.
C. Studi Kasus 3: KOPERNIK
- Model
Bisnis: Distribusi teknologi yang tepat guna (tech-for-impact)
- Misi
Sosial: Menyediakan akses ke teknologi yang membantu meringankan beban
hidup masyarakat di last-mile communities (komunitas terpencil).
- Kegiatan:
Mengidentifikasi dan mendistribusikan teknologi sederhana seperti lampu
solar, penjernih air, dan kompor hemat energi di daerah terpencil.
- Dampak:
Peningkatan kualitas hidup (misalnya waktu belajar anak lebih lama,
penurunan penyakit akibat air kotor).
✅ Kesimpulan
Kewirausahaan Sosial dan Berkelanjutan bukan sekadar tren,
melainkan sebuah keharusan di era modern. Dengan menggabungkan ketajaman bisnis
(Profit) dengan hati nurani sosial (People) dan lingkungan (Planet),
wirausaha sosial mampu menciptakan solusi yang tidak hanya inovatif tetapi juga
berkelanjutan. Penerapan Triple Bottom Line dan pengukuran dampak
yang ketat menjadi kunci keberhasilan jangka panjang. Indonesia, dengan beragam
permasalahan sosial dan kekayaan budaya, adalah lahan subur bagi pertumbuhan
wirausaha sosial yang akan mendorong perubahan sosial yang transformatif.
📖 Glosarium
|
Istilah |
Definisi |
|
Kewirausahaan Sosial |
Proses menciptakan nilai sosial dengan mengadopsi inovasi
dan praktik berbasis pasar. |
|
Social Enterprise |
Organisasi yang misi utamanya adalah sosial, tetapi
menggunakan pendapatan dari penjualan produk/jasa untuk mencapai misi
tersebut. |
|
Triple Bottom Line (3BL) |
Kerangka yang menilai kinerja perusahaan berdasarkan tiga
aspek: People, Planet, Profit. |
|
Impact Investor |
Investor yang mencari pengembalian finansial sekaligus
dampak sosial/lingkungan yang terukur. |
|
SROI |
Social Return on Investment, metode
pengukuran yang mengestimasi nilai moneter dari dampak sosial. |
|
Last-Mile Communities |
Komunitas terpencil yang sulit dijangkau oleh
layanan/produk dasar. |
|
Fair Trade |
Perdagangan yang mempromosikan standar kerja yang adil,
harga yang layak, dan praktik lingkungan yang berkelanjutan. |
|
Theory of Change (ToC) |
Kerangka yang menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu
inisiatif diharapkan menghasilkan perubahan yang diinginkan. |
❓ Pertanyaan Pemantik (5)
- Apa
perbedaan mendasar antara keuntungan (profit) dalam bisnis
konvensional dan kewirausahaan sosial?
- Mengapa
model bisnis hybrid dianggap sebagai salah satu pendekatan paling
efektif untuk mengatasi permasalahan sosial secara berkelanjutan?
- Bagaimana
sebuah perusahaan dapat menerapkan prinsip Planet dalam Triple
Bottom Line dalam rantai pasoknya sehari-hari?
- Jelaskan
bagaimana konsep Theory of Change dapat membantu wirausaha sosial
dalam memastikan dampak yang terukur?
- Menurut
Anda, apa tantangan terbesar yang dihadapi wirausaha sosial di Indonesia
dalam hal permodalan?
💡 Pertanyaan Reflektif
(5)
- Jika
Anda memiliki sumber daya terbatas, masalah sosial apa di komunitas Anda
yang akan Anda prioritaskan untuk diselesaikan melalui pendekatan
kewirausahaan sosial?
- Model
bisnis hybrid apa yang paling cocok untuk diterapkan pada studi
kasus Bank Sampah di Indonesia? Berikan alasan Anda.
- Bagaimana
Anda akan menyeimbangkan kebutuhan untuk menghasilkan keuntungan finansial
dengan tuntutan misi sosial Anda agar tidak saling meniadakan?
- Bagaimana
Anda memastikan suara penerima manfaat (beneficiaries) didengar dan
terwakili dalam proses pengambilan keputusan bisnis Anda?
- Apa
perubahan pribadi yang harus Anda lakukan untuk dapat menjadi seorang
wirausaha sosial yang menerapkan Triple Bottom Line?
📚 Daftar Pustaka
Jurnal Ilmiah (10 Sitasi)
- Austin,
J., Stevenson, H., & Wei-Skillern, J. (2006). Social Entrepreneurship
and Commercial Entrepreneurship: Although similar, they are fundamentally
different. Harvard Business School Working Paper.
- Dacin,
P. A., Dacin, M. T., & Matear, M. (2010). Social Entrepreneurship: Why
we don't know more and why we should. Journal of Business Venturing, 25(1),
58-69.
- Elkington,
J. (1999). Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Journal of Environmental Planning and Management, 42(1),
127-128.
- Mair,
J., & Martí, I. (2006). Social entrepreneurship research: A source of
explanation, prediction, and control. Journal of Organizational Change
Management, 19(5), 639-661.
- Nicholls,
A. (2006). Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social
Change. Oxford University Press.
- Peredo,
A. M., & McLean, M. (2006). Social entrepreneurship: A call for bigger
theory. International Entrepreneurship and Management Journal, 2(1),
43-60.
- Santos,
F. M. (2012). A positive theory of social entrepreneurship. Journal of
Business Venturing, 26(3), 335-346.
- Short,
J. C., Moss, T. W., & Lumpkin, G. T. (2009). The impact of isomorphism
on the adoption of social venturing. Journal of Business Venturing, 24(5),
527-548.
- Tracey,
P., & Jarvis, O. (2007). Toward a Theory of Social Enterprise. Organization
Studies, 28(3), 443-467.
- Yunus,
M. (2007). Social Business: The new kind of capitalism that serves
humanity’s most pressing needs. PublicAffairs.
Text Book (5 Sitasi)
- Dees,
J. G. (2012). Social Entrepreneurship: The Art of Starting Up Change.
Duke University Center for the Advancement of Social Entrepreneurship
(CASE).
- Elkington,
J. (2020). 25 Years of the Triple Bottom Line: Next Up: The Triple
Regenerative Bottom Line. Routledge.
- Kuratko,
D. F. (2017). Entrepreneurship: Theory, Process, Practice (10th
ed.). Cengage Learning. (Bab khusus tentang Social Entrepreneurship)
- Martin,
R. L., & Osberg, S. (2015). Getting Beyond Better: How Social
Entrepreneurship Works. Harvard Business Review Press.
- Nicholls,
A. (Ed.). (2008). The Handbook of Social Entrepreneurship. SAGE
Publications.
#️⃣ Hashtag (20)
- #KewirausahaanSosial
- #SocialEnterprise
- #BisnisBerkelanjutan
- #SustainableBusiness
- #TripleBottomLine
- #DampakSosial
- #SocialImpact
- #InovasiSosial
- #WirausahaSosialIndonesia
- #3BL
- #ImpactInvesting
- #TheoryOfChange
- #ModelBisnisHybrid
- #PemberdayaanKomunitas
- #EkonomiHijau
- #CSR
- #ProfitPeoplePlanet
- #SolusiSosial
- #BisnisBerhatiNurani
- #PerubahanSosial

Afif Ahmad Afifudin AE40 Pertanyaan Pemantik ❓
BalasHapus1. Keuntungan dalam bisnis konvensional berfungsi sebagai tujuan utama, sedangkan dalam kewirausahaan sosial profit hanya menjadi alat untuk memperkuat dan mempertahankan dampak sosial.
2. Model bisnis hybrid efektif karena mampu menggabungkan keberlanjutan finansial dari aktivitas komersial dengan misi sosial, sehingga wirausaha sosial tidak bergantung penuh pada donasi dan dapat menjaga dampaknya dalam jangka panjang.
3. Prinsip Planet dalam Triple Bottom Line dapat diterapkan dalam rantai pasok dengan memastikan proses operasional meminimalkan kerusakan lingkungan, seperti memilih pemasok yang berkelanjutan, mengurangi limbah, menghemat energi, dan menjaga praktik produksi yang ramah lingkungan.
4. Theory of Change membantu wirausaha sosial dengan memberikan kerangka logis yang menjelaskan hubungan antara kegiatan, output, dan dampak, sehingga mereka dapat memastikan bahwa strategi yang dilakukan benar-benar menghasilkan perubahan yang terukur.
5. Tantangan terbesar dalam permodalan wirausaha sosial di Indonesia adalah minimnya investor yang memahami karakter bisnis sosial, sehingga sulit memperoleh pendanaan yang selaras dengan misi sosial dan tidak menuntut return finansial tinggi. Pertanyaan Reflektif 💡
1. Jika memiliki sumber daya terbatas, saya akan memprioritaskan masalah persampahan dan lingkungan karena skalanya besar, dampaknya langsung pada kesehatan masyarakat, dan peluang intervensi melalui kewirausahaan sosial cukup realistis untuk dijalankan dengan modal kecil.
2. Model bisnis hybrid yang paling cocok untuk Bank Sampah adalah kombinasi antara layanan sosial pengelolaan sampah dengan unit usaha komersial (penjualan material daur ulang, produk olahan, atau jasa edukasi lingkungan). Model ini cocok karena memastikan pendapatan tetap mengalir untuk operasional, sambil tetap menjalankan fungsi sosial berupa pemberdayaan warga dan pengurangan sampah.
3. Keseimbangan antara profit dan misi sosial dijaga dengan menetapkan bahwa keuntungan finansial harus selalu menjadi instrumen penguatan dampak, bukan tujuan utama. Setiap keputusan bisnis perlu diuji dengan dua pertanyaan: apakah menghasilkan pendapatan yang sehat, dan apakah memperluas dampak sosial. Jika salah satu tidak terpenuhi, model tersebut perlu disesuaikan.
4. Suara penerima manfaat dapat dipastikan terdengar dengan melibatkan mereka dalam forum konsultasi rutin, survei dampak, kelompok diskusi, atau perwakilan komunitas dalam proses perencanaan. Mekanisme ini memastikan keputusan bisnis mencerminkan kebutuhan nyata mereka, bukan asumsi dari pengelola.
5. Perubahan pribadi yang perlu dilakukan adalah membangun mindset keberlanjutan, meningkatkan empati terhadap kebutuhan masyarakat, memperkuat disiplin dalam mengelola keuangan secara transparan, serta mengembangkan kebiasaan mengukur dampak secara konsisten. Perubahan tersebut penting untuk benar-benar menggabungkan People, Planet, dan Profit dalam praktik kewirausahaan sosial.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Farizh Harsya Fadhillah
BalasHapusNIM : 41324010033
AE 30
Pertanyaan Pemantik (5)
1.Perbedaan profit bisnis konvensional dan kewirausahaan sosial
Bisnis konvensional menjadikan profit sebagai tujuan akhir, sedangkan kewirausahaan sosial menjadikannya sebagai alat untuk menjaga keberlanjutan misi sosial.
2.Mengapa model bisnis hybrid efektif?
Model hybrid menggabungkan efisiensi bisnis dengan nilai sosial sehingga usaha tetap bertahan meski pendanaan eksternal menurun.
3.Cara menerapkan prinsip Planet dalam rantai pasok
Dilakukan dengan memilih bahan baku ramah lingkungan, mengurangi limbah, menekan emisi, dan memastikan pemasok menerapkan praktik berkelanjutan.
4.Peran Theory of Change
Theory of Change menjadi peta jalan yang membantu wirausaha sosial mengukur, mengevaluasi, dan memastikan setiap langkah mengarah pada dampak yang diinginkan.
5.Tantangan permodalan wirausaha sosial di Indonesia
Kesenjangan ritme antara investor yang menginginkan keuntungan cepat dan usaha sosial yang bergerak lebih lambat membuat pendanaan sulit diperoleh.
Pertanyaan Reflektif (5)
1.Masalah sosial yang diprioritaskan
Saya akan memprioritaskan edukasi pengelolaan sampah karena kesadaran masyarakat belum didukung fasilitas dan sistem yang memadai.
2.Model hybrid untuk Bank Sampah
Model non-profit + unit usaha komersial paling cocok agar misi sosial berjalan sambil menghasilkan pendapatan mandiri dari pengolahan sampah bernilai ekonomi.
3.Menyeimbangkan profit dan misi sosial
Profit saya posisikan sebagai alat pendukung, dan setiap keputusan diuji apakah tetap sejalan dengan tujuan sosial.
4.Cara memastikan suara penerima manfaat terdengar
Dengan menyediakan ruang dialog seperti forum, survei, dan perwakilan komunitas dalam proses pengambilan keputusan.
5.Perubahan pribadi yang diperlukan
Saya perlu mengembangkan mindset keberlanjutan, memperkuat etika, meningkatkan empati, dan mempertajam analisis agar mampu menyeimbangkan Profit, People, dan Planet.
Fauzaan Fatih Darmawan (AE07)
BalasHapusJawaban Pertanyaan Reflektif
1. Prioritas saya: air bersih & sanitasi di desa terpencil Indonesia Timur (dampak terbesar dengan SDM terbatas).
2. Model terbaik Bank Sampah: Fee-for-Service + Cross Subsidy (kelas menengah bayar, subsidi warga miskin).
3. Seimbangkan profit & misi: max 30–40% profit dibagikan, sisanya reinvestasi misi + KPI utama pakai SROI.
4. Suara beneficiaries: kursi di dewan, advisory council tiap 3 bulan, co-creation produk, polling anonim.
5. Perubahan pribadi: ubah mindset “max profit” jadi “enough profit, max impact”, sabar, kurangi konsumtif, rutin turun lapangan.
Jawaban Pertanyaan Pemantik
1. Bisnis konvensional: profit finansial maksimal untuk pemilik. Kewirausahaan sosial: profit direinvestasi untuk dampak sosial & lingkungan maksimal.
2. Hybrid paling efektif karena mandiri secara keuangan (dari pasar) tapi tetap 100% fokus solusi sosial berkelanjutan, tidak bergantung donasi.
3. Planet di rantai pasok: pilih supplier hijau, kurangi plastik, zero waste, transportasi rendah emisi, audit lingkungan rutin, carbon offset.
4. Theory of Change = peta Input → Aktivitas → Output → Outcome → Impact + indikator terukur, sehingga dampak bisa diukur, dikoreksi, dan dilaporkan secara kredibel.
5. Tantangan terbesar permodalan di Indonesia: minimnya patient capital; investor ingin return cepat, hibah cuma pendek, bank takut risiko → banyak terjebak valley of death.
Nama : Rio Aris Munandar (AE12)
BalasHapusPertanyaan Pemantik
1. Perbedaan profit:
Bisnis konvensional mengejar keuntungan sebagai tujuan utama, sedangkan kewirausahaan sosial menjadikan profit sebagai alat untuk mendukung misi sosial.
2. Efektivitas model hybrid:
Karena bisa menghasilkan pendapatan sambil tetap menjalankan misi sosial, sehingga lebih berkelanjutan dan tidak bergantung pada donasi.
3. Prinsip Planet di rantai pasok:
Memilih pemasok ramah lingkungan, mengurangi limbah dan plastik, efisiensi transportasi, penggunaan energi bersih, dan pengelolaan limbah yang baik.
4. Manfaat Theory of Change:
Membantu merumuskan tujuan, langkah-langkah, dan indikator dampak sehingga hasil sosial bisa diukur dengan jelas.
5. Tantangan permodalan wirausaha sosial:
Investor lebih fokus pada profit cepat, sementara bisnis sosial butuh waktu; ditambah akses pendanaan khusus masih terbatas.
Pertanyaan Reflektif
1. Masalah sosial prioritas:
Pengelolaan sampah atau pendidikan, karena dekat dengan kehidupan sehari-hari dan dampaknya cepat terlihat.
2. Model hybrid untuk Bank Sampah:
Penjualan sampah terpilah + program edukasi yang didukung CSR/hibah agar operasional lebih stabil.
3. Menyeimbangkan profit dan misi sosial:
Menggunakan indikator ganda—finansial dan sosial—dan memastikan keputusan memenuhi keduanya.
4. Mendengar suara penerima manfaat:
Libatkan mereka melalui diskusi rutin, survei, feedback, dan perwakilan dalam keputusan.
5. Perubahan pribadi:
Lebih peduli lingkungan, berempati, disiplin menerapkan People–Planet–Profit, dan memperkuat kemampuan manajemen.
Fawwaz Fatihul Ihsan
BalasHapus(AE38)
Bagian 1 : Jawaban Pertanyaan Pemantik
1. Perbedaan inti antara bisnis konvensional dan wirausaha sosial bukan pada pencarian laba, tetapi pada tujuannya. Bisnis konvensional mengejar profit untuk pemilik modal, sedangkan wirausaha sosial menggunakan profit sebagai alat keberlanjutan untuk memperluas dampak sosial melalui reinvestasi.
2. Model hybrid efektif karena menggabungkan misi sosial dengan pendapatan komersial, sehingga organisasi tidak bergantung pada donasi dan dapat menjalankan program secara stabil, mandiri, dan responsif terhadap perubahan.
3. Prinsip Planet harus diwujudkan lewat tindakan nyata, seperti audit lingkungan, pemilihan pemasok berkelanjutan, efisiensi distribusi, dan desain kemasan daur ulang untuk meminimalkan kerusakan ekologis.
4. Theory of Change (ToC) membantu wirausaha sosial fokus pada dampak inti dengan memetakan hubungan dari input hingga outcome. ToC memastikan aktivitas yang dilakukan benar-benar mengatasi akar masalah.
5. Hambatan terbesar adalah missing middle, yaitu usaha sosial yang tidak cocok dengan skema pendanaan mikro maupun perbankan besar. Minimnya patient capital membuat usaha sosial sulit berkembang karena investor masih menuntut keuntungan cepat.
Bagian 2 : Jawaban Reflektif
1. Saya memilih isu pengelolaan limbah rumah tangga karena berdampak besar dan dapat dimulai dengan modal kecil melalui edukasi serta gotong royong di tingkat komunitas.
2. Subsidi silang adalah model terbaik: menjual material bernilai tinggi ke industri untuk menghasilkan margin, lalu menggunakan keuntungan tersebut untuk menutupi biaya pengumpulan sampah bernilai rendah dan edukasi masyarakat.
3. Dampak sosial harus menjadi bagian bawaan dari layanan (impact embedded). KPI finansial dan sosial harus seimbang agar mencegah pergeseran misi demi profit semata.
4. Penerima manfaat harus dilibatkan sebagai partner, bukan objek. Mereka perlu terlibat dalam co-creation dan memberi masukan rutin agar solusi benar-benar relevan bagi komunitas.
5. Transformasi pribadi yang penting adalah mengubah pola pikir dari kompetitif menjadi kolaboratif, serta membiasakan diri menilai setiap keputusan dari sisi dampak sosial dan lingkungan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama: Reina Lusia Prisilia Warayaan
BalasHapusNim: 41423010030
Kode Peserta: AE33
JAWABAN PERTANYAAN PEMANTIK:
1. Dalam bisnis konvensional, profit menjadi tujuan utama dan indikator keberhasilan. Sementara pada kewirausahaan sosial, profit berfungsi sebagai alat keberlanjutan untuk memperbesar dampak sosial, bukan tujuan akhir.
2. Model bisnis hybrid efektif karena menggabungkan kekuatan bisnis (pendapatan mandiri) dan misi sosial, sehingga tidak bergantung pada donasi dan mampu menciptakan dampak jangka panjang.
3. Perusahaan dapat menerapkan prinsip Planet dengan memilih bahan baku ramah lingkungan, mengurangi emisi logistik, menerapkan energi terbarukan, serta memastikan pemasok mematuhi standar lingkungan.
4. Theory of Change membantu dengan memetakan hubungan jelas antara aktivitas, output, outcome, dan dampak, sehingga wirausaha sosial dapat mengevaluasi apakah intervensi benar-benar menghasilkan perubahan.
5. Tantangan terbesar adalah keterbatasan akses ke investor yang memahami dampak sosial, karena banyak investor masih berfokus pada keuntungan finansial jangka pendek.
JAWABAN PERTANYAAN REFLEKTIF:
1. Saya akan memprioritaskan masalah akses energi bersih dan listrik terjangkau, karena listrik merupakan kebutuhan dasar yang berdampak langsung pada pendidikan, ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat.
2. Model Nonprofit Support Model cocok diterapkan, di mana unit bisnis daur ulang menghasilkan keuntungan untuk mendanai edukasi lingkungan dan pengelolaan sampah berbasis komunitas.
3. Keseimbangan dicapai dengan menjadikan misi sosial sebagai inti model bisnis, sehingga setiap aktivitas menghasilkan pendapatan sekaligus dampak, bukan sekadar program tambahan.
4. Dengan melibatkan penerima manfaat dalam forum diskusi, survei berkala, dan evaluasi program, sehingga kebijakan bisnis mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan.
5. Saya perlu mengubah pola pikir dari sekadar mencari keuntungan menjadi menciptakan nilai bersama, meningkatkan empati sosial, serta berkomitmen pada dampak jangka panjang.
Melalui kewirausahaan sosial berbasis Triple Bottom Line, bisnis tidak hanya menjadi mesin ekonomi, tetapi juga agen perubahan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.