Teaching of Social Culture-Based Critical Literation for University
Students
@s16- ANGGA
Abstrak
Pengajaran literasi
kritis bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk melek terhadap
sejarah, pengalaman, bahasa, dan budaya. Selain itu, mahasiswa dapat
menggunakan kode dan budaya lingkungan mereka ketika membaca teks. Pengajaran
literasi kritis dilakukan dengan cara membangun kesadaran kritis yang
dihasilkan melalui penilaian yang cermat dan kritis. Penilaian yang kritis
bertujuan untuk memperoleh makna dari tulisan dan meletakkan makna tersebut ke
dalam tulisan. Literasi kritis membawa mahasiswa untuk beroleh pengetahuan
terhadap peristiwaperistiwa sosial dan budaya. Pengajaran literasi kritis
dilakukan melalui empat tahap yang meliputi (1) discrupting the commonplace,
(2) interrogating multiple viewpoints, (3) focusing on the socio-political
issues, dan (4) taking actions.
Kata kunci: pengajaran literasi kritis, berbasis sosial
budaya
PENDAHULUAN
Literasi membaca di kalangan mahasiswa di
perguruan tinggi sangatlah penting. Namun, fakta menunjukkan bahwa kemampuan
membaca serta produktivitas menulis dan minat baca mahasiswa masih rendah
(Ni’mah, 2014). Hal tersebut disebabkan oleh budaya literasi membaca dan
menulis di kalangan mahasiswa belum menjadi kebutuhan serta budaya (Supratno,
2014). Padahal, membaca merupakan salah satu kegiatan paling penting yang harus
digeluti oleh mahasiswa. Membaca merupakan suatu rangkaian keterampilan yang
harus dikembangkan oleh mahasiswa (Fairbrain, 2012; Suhartatik, 2018). Membaca
dijadikan sebagai cara agar mahasiswa mendapatkan informasi tentang dunia.
Selain itu, membaca akan mendukung banyak tugas akademik mahasiswa. Dengan
membaca, mahasiswa dapat memiliki pengetahuan dan memperbaharui pemahaman.
Literasi kritis menjadi penting
untuk diajarkan kepada mahasiswa, sebab, dengan membaca, mahasiswa akan
mendapatkan pengetahuan dan pemahaman melalui pemahaman kritis. Cooper dan
White (2015) mengatakan literasi kritis mengharuskan pembaca untuk mengadopsi
pendekatan kritis dan mempertanyakan apa yang mereka baca. Literasi kritis mendorong
pembaca secara aktif menganalisis teks dan menggunakan strategi untuk
mengeksplorasi bias dan mengungkap pesan, posisi, dan tema yang mendasarinya.
Diperkuat dengan pendapat Pearson dan Duke (2002) yang mengatakan bahwa
pemahaman tidak pernah cukup, pasti memiliki sisi kritis.
Literasi kritis membutuhkan
pemahaman membaca teks yang dibentuk oleh sikap dan nilai di mana pembaca
membawa hal tersebut ketika teks mempengaruhinya. Oleh karena itu, literasi
kritis penting untuk diajarkan kepada mahasiswa melalui kegiatan membaca.
Literasi kritis dapat mengembangkan kemampuan membaca. Literasi kritis dapat
mengembangkan kemampuan membaca secara aktif dan reflektif untuk membentuk
pemahaman tentang kekuasaan, ketidaksamaan, kesenjangan, dan ketidakadilan dalam
relasi manusi. Literasi kritis membantu pembaca menghubungkan antara aspek
tekstual dengan aspek konteks sosial. Lebih lanjut, literasi kritis ditujukan
untuk menumbuhkan kepekaan siswa terhadap praktik-praktik sosial yang
disuarakan penulis di dalam teks, bahkan literasi sudah masuk ke ranah budaya
yaitu menumbuhkan kepekaan siswa pada isu-isu komunikasi lintas budaya,
nilai-nilai budaya yang prosesnya diintegrasikan di dalam pembelajaran di kelas
(Priyatni & Nurhadi, 2017).
Literasi kritis dengan pendekatan
sosial budaya sangat penting untuk diajarkan bagi mahasiswa. Setiap mahasiswa
memiliki tingkat pemahaman budaya yang berbeda. Ketika pemahaman nilai budaya
seorang mahasiswa masih lemah, hal tersebut dapat menjadikannya tidak begitu
berbudaya (Subkhan, 2016, Purwahida, 2017; Purwahida, 2018). Akibatnya,
kepekaan rasa, estetika, dan daya imaji masih lemah sehingga mahasiswa memiliki
selera estetika yang murahan dan kreativitas yang minim. Perilaku yang mudah
termakan isu dan provokasi karena kurangnya kesadaran kritis hingga menjadikan
seseorang tidak mampu memahami dan menganalisis kondisi sosial, budaya,
ekonomi, dan politik secara kritis. Pemahaman nilai budaya di masyarakat masih
lemah sehingga muncul perilaku tidak menghargai, tidak melestarikan, dan tidak
mengembangkan produk budaya.
Beberapa penelitian yang relevan
tentang literasi kritis, Wilinsky (2013) menggambarkan sejarah budaya dapat
memproduksi pengetahuan yang dikaitkan dengan situasi nyata. Literasi kritis
memiliki kontribusi penting terhadap pemahaman yang lebih luas tentang sifat
intelektual dari pembelajaran. Pentingnya pemahaman kritis tentang literasi
yang memberikan manfaat terhadap kekayaan intelektual sebagai cara berpikir
dalam menciptakan nilai, berbagai pengetahuan, dan kualitas pembelajaran di
universitas. Begitu juga dengan hasil penelitian Silvers dan Shoney (2010)
menyebutkan literasi kritis memengaruhi semua literasi lainnya (multiliterasi).
Literasi kritis pun digunakan oleh Bynoe dan Katz (2018) sebagai alat untuk
memahami dan berlatih membaca dengan perspektif sosial budaya. Membaca dari
perspektif literasi kritis memberikan manfaat membaca dengan melihat informasi
secara kritis, menjadi pemikir kritis yang dapat membaca dunia untuk memperoleh
makna dan pemahaman yang lebih dalam. Kelebihan pengajaran literasi kritis
dapat membawa mahasiswa memiliki keterampilan yang kritis dan kolaboratif.
Pengajaran literasi kritis
melalui pendekatan sosial budaya didasarkan pada pendapat Freire dan Macedo
(1987). Pertama, literasi merupakan ekspresi budaya di mana pendidikan itu
sendiri adalah suatu dimensi budaya. Pendidikan adalah suatu tindakan
pengetahuan pada subjek yang mengetahui. Pada pengertian tersebut, pengetahuan
tidak terbatas pada objek tertentu saja. Oleh karena itu, pendidikan harus
mengambil budaya yang menjelaskannya sebagai objek dari pemahaman yang ingin
diketahui, seolah-olah menggunakan pendidikan untuk mempertanyakan dirinya
sendiri. Setiap saat pendidikan mempertanyakan dirinya sendiri, maka pendidikan
merespons sendiri dalam kumpulan budaya yang lebih besar.
Kedua, literasi menjadi bermakna
bila didasarkan pada teori produksi budaya dan dipandang sebagai bagian
integral dari cara orang-orang menghasilkan, mengubah, dan menghasilkan kembali
makna. Literasi harus dilihat sebagai medium yang membentuk dan menegaskan
momen-momen sejarah dari pengalaman hidup yang menghasilkan budaya hidup.
Pengajaran literasi kritis
menjadi penting atas dasar manfaat literasi kritis. Pertama, teks-teks yang
digunakan sebagai sarana untuk mengajarkan fitur bahasa tertentu dan kosakata
(Wallace, 2003). Teks-teks yang memiliki elemen-elemen visual dari beragam
sumber menuntun untuk mengamati struktur-struktur bahasa yang digunakan dalam
teks dan untuk memperoleh banyak kosakata baru yang dapat secara langsung
dipraktikkan dalam komunikasi. Praktik ini membawa mahasiswa untuk menjadi
pemecah kode yang mengenali bagian-bagian dasar dan konvensi dari teksteks,
termasuk abjad, bunyi, ejaan, tanda baca, pola-pola kalimat, atau pembentukan kata.
Kedua, literasi kritis memicu
siswa untuk secara aktif berpartisipasi dalam belajar dan mempermasalahkan
beragam bentuk teks melalui dialog (Coffey, 2012). Mengintegrasikan literasi
kritis ke dalam proses belajar mengajar menyebabkan mahasiswa aktif dan
dinamis. Mahasiswa mengambil peran sebagai pengguna bahasa, bukan penerima
bahasa. Mahasiswa mampu memfokuskan bagaimana membuat makna dari teks-teks
dengan menggunakan pengalaman latar pengetahuan dan budaya agar dapat membuat
makna.
Ketiga, literasi kritis
mempengaruhi siswa-siswa untuk menjadi pengguna teks yang mampu menghubungkan
teks dengan audiens (Luke dan Freebody, 1999). Literasi kritis menginformasikan
siswa bahwa setiap teks ditulis menurut kesepakatankesepakatan sosial dan
budaya; bahwa teks-teks tertentu dapat digunakan untuk membuat makna; dan bahwa
jenis teks tertentu memiliki tujuannya sendiri. Keempat, lierasi kritis
digunakan sebagai wahana untuk menjadikan siswa berperan aktif dalam memaknai
hidup dan kehidupannya agar tidak terasing dari dunianya (Kalantzis & Cope,
2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Literasi dapat dibawa ke dalam
kelas sebagai kompetensi-kompetensi budaya, membangun serjarah, memproduksi
pengetahuan, dan menghasilkan makna. Giroux menjelaskan bahwa literasi dapat
dipahami sebagai kompetensi-kompetensi budaya yang membangun dan menyediakan
beragam hubungan dan pengalaman yang ada antara siswa dan dunia (Freire &
Macedo, 1987). Dalam pengertian yang lebih spesifik, literasi kritis adalah
naratif untuk agensi dan juga acuan untuk kritikan. Pengertian literasi sebagai
naratif untuk agensi diartikan sebagai usaha untuk menyelamatkan sejarah,
pengalaman dan visi dari wacana konvensional dan hubungan-hubungan sosial
dominan. Manusia dapat meletakan diri mereka sendiri dalam sejarah mereka
sendiri. Pengertian literasi sebagai acuan untuk kritik bermakna bahwa literasi
memberikan prasyarat penting untuk mengatur dan memahami sifat yang terbangun
secara sosial dari subjektivitas dan pengalaman dan untuk menilai bagaimana
pengetahuan, kekuatan, serta praktik sosial. Adanya produksi makna tidak
terbatas pada menganalisis bagaimana ideologi-ideologi terukir dalam teks-teks
tertentu, tetapi juga memasukkan gagasan-gagasan ideologi di mana produksi
makna terjadi dalam dialog serta interaksi yang membentuk hubungan dialektis
antara subjektifitas manusia dan dunia objektif.
membentuk hubungan dialektis
antara subjektifitas manusia dan dunia objektif. Tugas dari teori literasi
kritis adalah meluaskan konsepsi mengenai proses guru dalam menghasilkan,
mempertahankan, serta melegitimasikan makna dan pengalaman di dalam kelas
secara aktif. Produksi pengetahuan adalah suatu tindakan di mana guru menjadi
peka terhadap kondisi-kondisi sejarah, sosial dan budaya yang berkontribusi
pada bentuk-bentuk pengetahuan dan makna yang dibawa siswa ke sekolah. Gagasan
literasi yang mengaitkan hubungan-hubungan kekuatan dan pengetahuan bukan
sekadar dengan apa yang diajarkan guru tetapi juga dengan makna-makna produktif
dalam semua perbedaan budaya dan sosial mahasiswa yang mereka bawa ke dalam
kelas.
Literasi kritis merupakan bentuk
varian dari pedagogi kritis. Literasi kritis dijadikan sebagai sebuah paradigma
dan model pembacaan sebuah teks dengan mengaitkan teks dan konteks untuk
membangun kesadaran kritis. Pedagogi kritis mengarahkan praksis pendidikan
untuk membekali pengetahuan dan keterampilan dan perubahan sosial. Literasi
kritis dijalankan untuk membangun sikap kritis terhadap apa yang dibaca oleh
pembaca. Pembaca mampu menemukan makna yang terkandung dalam teks itu sendiri,
kemudian menganalisis kemungkinan adanya maksud-maksud lain atau maksud yang
tersembunyi dibalik teks. Pembaca melakukan refleksi, mengaitkan, dan
berdialektika dengan konteks lain dan konteks sosial riil. Tugas dari teori
literasi kritis adalah meluaskan konsepsi bagaimana guru secara aktif
menghasilkan, mempertahankan, serta melegitimasikan makna dan pengalaman dalam kelas.
Terlebih, teori literasi kritis mengharuskan pemahaman yang lebih kuat tentang
kondisi yang lebih luas dari yang dihasilkan oleh negara dan masyarakat,
menegosiasikan, dan mengubah kondisi-kondisi pengajaran sehingga guru-guru
bertindak dalam cara yang kritis dan transformatif (Freire & Macedo, 1987).
Horning mendefinisikan literasi
kritis sebagai proses-proses psikolinguistik untuk memperoleh makna dari
tulisan dan meletakan makna ke dalam tulisan, digunakan untuk tujuan analisis,
sintesis, dan evaluasi (Setiadi & Piyakun, 2012). Literasi kritis pada
dasarnya adalah kemampuan berbahasa yang menggambarkan langkah teratas dalam
pengembangan kemampuan-kemampuan bahasa manusia. Selain itu, literasi kritis
adalah tingkat tertinggi dari perolehan bahasa karena untuk berpikir, belajar,
dan bertindak secara kritis. Oleh karena itu, masyarakat, dalam artikel ini
khususnya mahasiswa, harus memiliki kumpulan kompetensi bahasa yang berkualitas
tinggi. Literasi kritis sangat penting untuk membangun suatu masyarakat yang
ingin mencapai tujuan-tujuan demokratis, sehingga anggota-anggota dari suatu
masyarakat demokratis membutuhkan serta menggunakan literasi kritis untuk
secara efektif dan sepenuhnya berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa sosial
dan budaya (Setiadi & Piyakun, 2012). Senada dengan pendapat Jhonson dan
Freedman (2005) literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir
kritis dan perhatian pada keadilan sosial, politik, bahasa dan kekuasaan dalam
teks.
Perspektif pendukung sosial
budaya memandang praktik literasi sebagai situasi dan kontekstual, serta
membaca sebagai sarana interaksi sosial. Dari perspektif tersebut, Stone
menyebutkan bahwa praktik literasi adalah suatu praktik budaya yang dibawa
orang-orang ke dalam partisipasi sosial (Setiadi & Piyakun, 2012). Hal
tersebut senada dengan pendapat Vygotsky yang mengatakan bahwa aktivitas mental
manusia seperti pembelajaran dipengaruhi dan dibatasi oleh penentu-penentu
budaya, sosial, dan sejarah (Setiadi & Piyakun, 2012). Lebih lanjut,
literasi bersifat perkembangan karena perilakuperilaku membaca dan menulis dari
anak-anak usia dini tumbuh dalam tahap-tahap perkembangan (McGee & Richgel,
2000). Anak-anak mengembangkan kemampuan literasi dengan mengamati dan meniru
cara-cara orang dewasa di sekeliling mereka dengan menggunakan bahasa. Dalam
perspektif Piaget, pengalaman sangat penting untuk menciptakan konsep-konsep
(Freeman, 1996). Jika pandangan Piaget dihubungkan dengan pembelajaran
literasi, dapat dinyatakan bahwa pengalaman bisa menciptakan pemahaman dan
pemahaman akan menghasilkan makna (Setiadi & Piyakun, 2012). Ketika
perspektif-perspektif Vygotsky dan Piaget digabungkan, literasi dapat dilihat
sebagai suatu proses perkembangan, pengalaman, dan sosial yang terjadi dalam
konteks budaya tertentu. Dalam konteks penyekolahan, sekolah dan para pemangku
kewenangannya dapat dilihat sebagai suatu komunitas kecil yang memiliki
budayanya sendiri di mana literasi digunakan sebagai suatu praktik sosial dan
suatu cara untuk meningkatkan kompetensi akademik.
Pengajaran literasi kritis
memiliki manfaat langsung sebagai pendekatan pembelajaran membaca bagi
mahasiswa, di antaranya yaitu memiliki keterampilan untuk membaca teks di luar
teks, memiliki keterampilan berbahasa serta memiliki sikap sosial, membangun
kesadaran diri, menjadikan melek dan kritis terhadap isu-isu yang ada di
sekitarnya dengan mengambil sebuah tindakan, membantu untuk lebih kritis dalam
membaca beberapa masalah, dan membantu untuk dapat menggunakan makna dan
berpartisipasi dalam berbagai konteks sosial (Ko, 2013; Lau, 2013; Izadinia
& Abednia, 2010; Dale & Magison, 2010; Shin & Crookes, 2009; &
Cheah, 2001).
Merujuk pada pendapat Hall dan
Piazza dalam Bynoe & Katz (2018) bahwa semua keterampilan bermuara pada
membaca. Membaca dalam lingkungan apa pun memiliki konsekuensi sosial, budaya,
dan politik. Ketika mahasiswa sadar akan pesan tetang ras, jenis kekuasaan
dalam teks, mereka dapat terhubung dengan pandangannya tentang bagaimana
masalah ini mempengaruhi interpretasi mereka terhadap apa yang mereka baca.
Literasi kritis menjelaskan cara-cara literasi yang dapat digunakan dalam
aktualisasi diri dan perubahan sosial (Riley, 2015). Literasi kritis
memungkinkan mahasiswa memahami apa yang mereka baca dari berbagai perspektif
(Norris, Lucas, & Prudhoe, 2012). Hasil penelitian Bynoe & Katz (2018)
yang mengenalkan literasi kritis pada guru-guru prajabatan agar memiliki
keterampilan memahami informasi dari perspektif yang lebih kritis. Literasi
kritis dalam perspektif teori sosial kritis, khususnya literasi sebagai praktik
sosial dilakukan dalam empat dimensi dari literasi kritis, yaitu (1) disrupting
the commonplace, (2) interrogating multiple viewpoints, (3) focusing on the
socio-political issues,dan (4) taking actions (Lewison, Flint, & Sluys,
2002).
Disrupting The Commonplace
Pertama, disrupting the commonplace. Disrupting the commonplace dapat diartikan
―mengganggu sesuatu yang lumrah‖. Literasi kritis dikonseptualisasikan sebagai
aktivitas melihat ―sehari-hari‖ melalui lensa-lensa baru dengan menggunakan
bahasa dan sistem tanda lainnya untuk mengenali mode-mode tak tersirat dari
persepsi dan mempertimbangkan kerangka-kerangka baru untuk memahami pengalaman
(Lewison, Flint, & Sluys, 2002). Dimensi ini menuntun guru dan siswa untuk
berfokus pada ―melihat sehari-hari melalui lensa-lensa baru‖, baik pada praktik
mengajar maupun isu yang disoroti dalam lembar literatur. Dimensi ini dapat
dilihat sebagai suatu cara untuk ―mempermasalahkan semua subjek studi dan
memahami pengetahuan yang telah ada sebagai suatu produk sejarah‖ (Freire &
Shor, 1987). Fairclough (1992) dan Gee (1990) menjelaskan bahwa disrupting the
commonplace berhubungan dengan mempelajari bahasa untuk menganalisis bagaimana
bahasa membentuk identitas, membangun wacana-wacana budaya, dan mendukung atau
mengganggu status quo. Dimensi ini dilihat sebagai suatu cara untuk memberikan
pengalaman dengan teks yang memiliki potensi untuk memunculkan asumsi dan
keyakinan siswa. Guru kemudian dapat memberikan hubungan-hubungan yang lebih
tersirat antara kehidupan siswa dan teks.
Hasilnya, siswa-siswa terlibat
dalam percakapan yang meminta mereka untuk mempertimbangkan isu-isu kritis yang
disoroti dalam teks-teks tersebut. Literasi kritis dalam dimensi ini
dikonseptualisasikan sebagai cara-cara untuk tujuan-tujuan berikut (Lewison,
Flint, & Sluys, 2002). (1) Mempermasalahkan semua subjek studi dan memahami
pengetahuan yang ada sebagai suatu produk sejarah; (2) Mengintegorasi teks
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ―Bagaimana teks ini mencoba
untuk memosisikan saya?‖; (3) Memasukan budaya populer dan media sebagai bagian
tetap dari kurikulum untuk tujuan kesenangan dan untuk menganalisis bagaimana
masyarakat diposisikan dan dibangun oleh televisi, video game, komik,
permainan, dan lain-lain; (4) Mempelajari bahasa untuk menganalisis pembentukan
identitas, pembangunan wacana-wacana budaya yang mendukung atau mengganggu
status quo. Keempat cara tersebut menunjukan bahwa ketika terdapat situasi
kelumrahan yang terganggu, mahasiswa diajak untuk mempermasalahkan fenomena
sehari-hari dan menganalisis bagaimana
teks mempengaruhi perspektif pembaca. Realisasi dari empat cara ini dalam kelas
dapat dilakukan dengan cara menghubungkan teks dan pengalaman/pengetahuan
pribadi mahasiswa. Literasi kritis mempertimbangkan pandangan kritis dan sudut
kritis (McLaughlin dan Devoogd, 2004). Pandangan kritis dijalankan dengan
mengaktifkan pengetahuan sebelumnya untuk memahami dan menghubungkan
gagasan-gagasan dalam cara aktif dan reflektif selama membaca teks. Pembaca
memahami kekuatan dalam memahami suatu teks. Oleh karena itu, literasi kritis
diperoleh dengan membaca aktif.
Berikut ini adalah beberapa
pertanyaan utama yang dapat digunakan.
(a) Apakah Anda telah mengetahui topik ini?
(b) Apakah ini
relevan dengan pengalaman/pengetahuan pribadi Anda?
(c) Apakah kesamaan dan perbedaan yang Anda temukan mengenai
informasi dalam teks dan apa yang telah Anda alami/ketahui sebelumnya?
(d) Melihat bagaimana
orang-orang/topik direpresentasikan dalam teks.
(e) Bagaimana peran
anak-anak, remaja, anak muda, dan orang dewasa dibangun dalam teks ini?
(f) Mengapa
karakter-karakter direpresentasikan dalam cara tertentu?
(g) Bagaimana orang-orang/topik direpresentasikan dalam teks
ini?
(h) Apakah mereka direpresentasikan secara positif/negatif?
Aktivitas-aktivitas tersebut dapat diterapkan dan diimplementasikan di dalam
kelas agar dapat membangun kapasitas literasi dalam menafsirkan informasi yang
disajikan dalam teks.
Interrogating Multiple Viewpoints
Kedua, interrogating multiple viewpoints. Dimensi kedua dari literasi kritis
adalah menginterogasi banyak titik pandang. Dimensi menginterogasi banyak titik
pandang yang berhubungan dengan proses melibatkan siswa untuk mengidentifikasi
suara-suara yang terpinggirkan dan terdengarkan dalam suatu teks (Gustine,
2014). Menginterogasi banyak titik pandang dapat dilakukan dengan memahami
pengalaman dan teks dari perspektif sendiri dan titik pandang orang
lain serta untuk mempertimbangkan
beragam perspektif tersebut secara berbarengan. Dimensi kedua tersebut
melibatkan mahasiswa dalam proses-proses berikut (Lewison, Flint, dan Sluys,
2002). (1) Berefleksi pada multi dan kontradiksi perspektif; (2) Menggunakan
banyak suara untuk menginterogasi teks-teks dengan mengajukan pertanyaan
seperti ―Siapakah suara yang didengar dan siapakah yang hilang?‖; (3)
Memberikan perhatian dan mencari suara-suara dari mereka yang tak didengar atau
terpinggirkan; (4) Membuat perbedaan dapat dilihat. Empat poin tersebut
dianggap sebagai aktivitas-aktivitas yang dapat diterapkan dalam kelas untuk
memunculkan kesadaran melihat informasi atau fenomena sehari-hari dengan menggunakan
banyak pandangan. Dalam konteks ini, proses menginterogasi teks bertujuan untuk
mencari suara yang hilang dan siapa yang telah terpinggirkan dalam teks. Selain
itu, dimensi kedua tersebut penting untuk mengingatkan bahwa tidak ada
kebenaran yang mutlak karena gagasan kebenaran bergantung pada siapa yang
memberitahu kepada siapa. Oleh karena itu, penting untuk menginterogasi teks
yang dibaca dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan utama berikut. (1)
Mempertimbangkan celah dan jeda (a) Apakah ada celah atau jeda dalam teks? (b)
Siapakah yang hilang dari teks? (c) Apakah pertanyaan tentang teks itu sendiri
yang tidak dimunculkan oleh teks? (2) Mempertimbangkan banyak titik pandang (a)
Apakah penafsiran lainnya yang mungkin untuk teks? (3) Mempertanyakan pandangan
dan realitas (a) Pandangan dunia apa yang disajikan oleh teks? (b) Apakah jenis
realitas sosial yang disajikan oleh teks? (c) Apakah yang nyata dalam teks? (4)
Memeriksa munculnya posisi/suara yang eksklusi dalam teks (a) Siapakah yang
menulis untuk siapa? (b) Posisi siapakah yang sedang dan tidak sedang
diungkapkan? (c) Siapakah yang mungkin diuntungkan dan tidak diuntungkan dari
teks ini? (d) Apakah yang tidak dikatakan tentang topik? Mengapa?
(5)Mempertimbangkan banyak makna (a) Apakah ada kemungkinan
penafsiran-penafsiran yang berbeda dari teks? (b) Bagaimana teks dapat ditulis
kembali? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat digunakan sebagai pertanyaan
penuntun dalam sesi diskusi kelas agar dapat menstimulasi kesadaran kritis.
Selain itu, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyelidiki dan mendorong juga
digunakan agar mahasiswa memiliki pandangan-pandangan kritis multi perspektif.
Focusing on The Socio-Political Issues
Ketiga, focusing on the
socio-political issues. Dimensi ketiga tersebut berhubungan dengan
menghubungkan sistem sosial politik, hubungan kekuatan, dan bahasa dengan
proses pengajaran. Agar bergerak di luar respons-respons personal dan
psikologis terhadap teks maupun pengalaman serta berusaha untuk menginterogasi
bagaimana sistem-sistem sosial politik dan hubungan-hubungan kekuatan berbagi
persepsi, respon, dan tindakan. Dengan kata lain, dimensi tersebut membawa
mahasiswa untuk menyadari hubungan kekuatan yang mungkin dimasukkan ke dalam
teks. Terlebih, dalam dimensi ketiga tersebut, ―para pendidik membawa siswa
untuk membuat hubungan antara kehidupan pribadi mereka dan konteks sosial
politik mereka‖ (Gustine, 2014). Hal tersebut memperlihatkan bahwa situasi itu
memosisikan guru untuk menjadi pendidik kritis yang dapat menghubungkan teks
yang digunakan dan dibahas dalam kelas, kehidupan siswa, serta fenomena sosial
dan politik di luar kelas. Pentingnya dimensi ini terletak pada bagaimana
literasi kritis bukan hanya dilihat sebagai kapabilitas untuk membaca teks
tetapi juga kapabilitas untuk menganalisis ketidakadilan sosial politik dan
ketidaksetaraan agar mahasiswa dapat menjadi bagian dari anggota masyarakat
yang aktif. Dimensi ketiga tersebut memandang literasi kritis sebagai berikut
(Lewison, Flint, & Sluys, 2002). (1) Bergerak di luar pribadi dan berusaha
untuk memahami sistem-sistem sosial politik dari mana kita berasal;
(2) Menantang legitimasi hubungan-hubungan kekuatan yang
tidak merata dengan mempelajari hubungan antara bahasa dan kekuatan;
(3) Menggunakan
literasi untuk terlibat dalam politik kehidupan sehari-hari;
(4) Mendefinisikan
literasi sebagai suatu bentuk kewarganegaraan budaya dan politik yang
meningkatkan kesempatan bagi kelompok bawah untuk berpartisipasi dalam
masyarakat dan sebagai tindakan kesadaran dan resistansi.
Empat poin tersebut memperlihatkan bahwa menjadi kritis
dalam membaca teks bukan hanya poin utama dari literasi kritis. Selain itu,
menjadi mampu untuk menganalisis ketidakadilan sosial politik dan
ketidaksetaraan juga adalah poin-poin yang harus dimasukan. Pelaksanaan dari
dimensi ini dalam kelas adalah dengan memberikan teks-teks berisi isu politik
atau memasukkan pertanyaan-pertanyaan sosial politik tentang teks.
Pertanyaan-pertanyaan utama untuk dimensi ini adalah sebagai berikut:
(1) Menginterogasi kekuatan dan ketertarikan
(a) Pada ketertarikan
siapakah teks tersebut?
(b) Siapakah yang
diuntungkan dari teks?
(2) Mempertanyakan penyusun
(a) Apakah jenis orang yang menyusun teks?
(b) Apakah pandangan dunia yang diasumsikan oleh penyusun?
Pertanyaan-pertanyaan penuntun di atas dapat menjadi
cara-cara alternatif untuk memunculkan kesadaran kritis dalam menghubungkan
teks dengan isu-isu sosial politik.
Taking Actions
Keempat, taking actions. Dalam
dimensi keempat tersebut, literasi kritis didefinisikan sebagai cara masyarakat
tidak dapat mengambil tindakan terinformasi untuk menentang penindasan atau
mendorong keadilan sosial tanpa pemahaman yang meluas dan perspektif yang
diperoleh dari tiga dimensi lainnya (Lewison, Flint, & Sluys, 2002).
Keadilan sosial dapat dicapai dengan menggunakan literasi kritis melalui
cara-cara berikut.
(1) Menggunakan bahasa untuk
menggunakan kekuatan guna meningkatkan kehidupan sehari-hari dan mempertanyakan
praktik-praktik ketidakadilan;
(2) Menganalisis bagaimana bahasa
digunakan untuk mempertahankan dominasi, bagaimana kelompok-kelompok yang tidak
dominan dapat memperoleh akses terhadap bentuk-bentuk dominan bahasa tanpa
merendahkan bahasa dan budaya mereka sendiri, bagaimana bentuk bahasa yang
beragam dapat digunakan sebagai sumber-sumber budaya, dan bagaimana tindakan
sosial dapat mengubah wacanawacana yang telah ada;
(3) Menantang dan mendefinisikan kembali
batasan-batasan budaya, dapat memahami orang lain, dan menciptakan batasan
dengan sumber-sumber budaya yang beragam.
Mengambil tindakan juga dapat
dilaksanakan dengan mengubah sikap dalam cara berpikir dan berperilaku setelah
membaca dan menganalisis teks secara kritis. Mengambil tindakan didefinisikan
sebagai teks-teks yang telah dianalisis dan dikritik dapat mempengaruhi
pemikiran dan tindakan. Dengan demikian, pembaca, dalam konteks artikel ini
adalah mahasiswa, dapat mengambil tindakan berikut.
(1) Memahami bahwa semua teks ditulis dengan perspektif
tertentu;
(2) Memahami bahwa
semua topik teks mungkin terdiri dari perspektif lainnya yang mungkin diketahui
atau tidak diketahui oleh pembaca dan penulis;
(3) Membandingkan teks dan informasi yang berbeda untuk
menyelidiki cara-cara bagaimana isu-isu yang sama disajikan;
(4) Menafsirkan teks
dalam banyak makna yang berbeda dan berpikir tentang caracara lain dari
menyajikan informasi tersebut; Mengembangkan pemahaman yang lebih baik akan
titik pandang penulis dalam menyajikan informasi dan mempengaruhi pembaca.
KESIMPULAN
Pengajaran literasi kritis bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa agar melek terhadap sejarah, pengalaman, bahasa, dan
budaya. Pengajaran literasi kritis dilakukan melalui empat tahap. Tahap
pertama, discrupting the commonplace. Pada tahap pertama tersebut, pengajaran
literasi kritis diajarkan dengan cara: (1) mempermasalahkan dan memahami
pengetahuan yang ada sebagai suatu produk sejarah, (2) mengintegorasi teks
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan (3) memasukan budaya untuk
menganalisa bagaimana orang-orang diposisikan dan dibangun dalam teks. Tahap
kedua, interrogating multiple viewpoints. Pengajaran literasi kritis dalam
tahap kedua tersebut adalah dengan cara: (1) berefleksi pada multi dan
kontradiksi perspektif, (2) menggunakan banyak suara untuk menginterogasi teksteks
dengan mengajukan pertanyaan, (3) memberikan perhatian dan mencari suara-suara
dari mereka yang tak didengar atau terpinggirkan; serta (4) membuat perbedaan
dapat dilihat. Tahap ketiga, focusing on the socio-political issues. Pada tahap
ketiga tersebut, pengajaran literasi kritis dilaksanakan dengan cara: (1)
memahami sistem-sistem sosial politik dari mana kita berasal, (2) mempelajari
hubungan antara bahasa dan kekuatan, (3) menggunakan literasi untuk terlibat
dalam politik kehidupan sehari-hari, serta (4) mendefinisikan literasi sebagai
suatu bentuk kewarganegaraan budaya dan politik yang meningkatkan kesempatan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan sebagai tindakan kesadaran dan
resistansi. Tahap keempat, taking actions. Pada tahap keempat tersebut,
pengajaran literasi kritis dilaksanakan dengan cara: (1) menggunakan bahasa
sebagai kekuatan untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari dan mempertanyakan
praktikpraktik ketidakadilan, (2) menganalisis bagaimana bahasa digunakan untuk
mempertahankan dominasi, bagaimana kelompok-kelompok yang tidak dominan dapat
memperoleh akses terhadap bentuk-bentuk dominan bahasa tanpa merendahkan bahasa
dan budaya mereka sendiri, bagaimana bentuk bahasa yang beragam dapat digunakan
sebagai sumber-sumber budaya, dan bagaimana tindakan sosial dapat mengubah
wacana-wacana yang telah ada, serta (3) mendefinisikan kembali batasan-batasan
budaya, mendorong mahasiswa untuk memiliki pengetahuan budaya lainnya, dan
menciptakan pengetahuan dengan sumber-sumber budaya yang beragam.
Daftar Pustaka
Bynoe, V., & Katz, A. (2018). Thinking outside the box:
a critical literacy collaborative. Reference Services Review. Vol.46 No.2,
2018., 264-271.
Cheah, M.Y. (2001). From prescription to participation:
Moving from functional to critical literacy in Singapure. In Comber, B., and
Simpson, A. (Eds) 2001). Negotiating critical literacies in clasroom. Mahwah:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Coffey, G. (2012).
Literacy and technology: Integrating technology with small group, peer-led
discussions of literature. International Electronic Journal of Elementary
Education, 2012, 4(2), 395—405.
Cooper, K., White, R.E. (2015) Democracy and It’s
Discontents: Critical Literacy Across Global Contexts. Canada: Springer.
Dale, J & Magison. (2010). Paulo Freire : Teaching for
freedom and transformation – the philosopical influences on the work of Paulo
Freire. New York: Springer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar