320-Suci Fitriani
Kemampuan melihat
peluang bisnis menjadi kunci kesuksesan Catur Jatiwaluyo. Menyadari akan
kebutuhan kemasan kertas dan plastik makin tinggi di industri kuliner
lokal maupun luar negeri, Catur bersama dua rekannya bekerjasama
mendirikan perusahaan kemasan bernama PT Paperocks Indonesia.
Dia menduduki posisi direktur di dalam perusahaan ini. Beroperasi
sejak 2011 di kawasan industri Newton Technopark, Lippo Cikarang,
Paparocks memasok berbagai kemasan plastik dan kertas ke hampir 100
perusahaan di Indonesia.
Beberapa produk yang diproduksi seperti gelas kertas, kertas
pembungkus nasi, kotak kertas, mangkuk sup, gelas es krim, tatakan, juga
alas makanan. Jika Anda mampir ke restoran cepat saji atau gerai kopi
yang menjamur belakangan ini, bisa dipastikan produk-produk seperti ini
selalu digunakan.
Beberapa perusahaan besar yang menjadi pelanggan produknya adalah
pelaku bisnis kuliner seperti KFC, Nestle, dan Burger King. Ini beberapa
contoh merek asing di Indonesia yang membeli produk kemasan dari
Paperocks.
Beberapa perusahaan waralaba makanan dan minuman pun ikut menggunakan
kemasan miliknya. Misalnya, Kopi Brontoseno dari Kediri. "Di Indonesia
hanya perusahaan besar seperti Mc Donald's, Pizza Hut, dan California
Fried Chicken (CFC) yang belum menjadi pelanggan kami," ujarnya.
Saat ini komposisi persentase penjualan untuk ekspor dan penjualan di
dalam negeri masih relatif sama. Dia bilang, Australia dan Jerman
merupakan beberapa negara tujuan ekspor Paperocks. Sistem penjualan
ekspornya dengan cara produk dikirim ke distributor di negara tersebut.
Lantas distributor itu yang mengurus pengiriman selanjutnya ke
perusahaan yang membutuhkan.
Sementara, pembeli yang langsung berhubungan dengan Paperocks adalah
beberapa maskapai penerbangan seperti Singapore Airlines dan Etihad
Airways. "Kontrol kualitas perusahaan-perusahaan penerbangan itu ketat
sekali," kata Catur.
Dia berharap perekonomian Indonesia dan dunia bisa terus membaik.
Jika geliat ekonomi terus terjadi dengan ditandai ekspansi usaha
perusahaan makanan dan minuman, ini akan menguntungkan perusahaan yang
ia jalankan.
Catur optimistis, komposisi persentase ekspor ke depannya dapat
tumbuh menjadi 60% dari total penjualan. Gaya hidup masyarakat di negara
maju seperti Australia dan Jerman membuat Catur merasa target tersebut
cukup beralasan.
Ia mengamati, karakter masyarakat di negara maju mau menggunakan
pembungkus kertas setiap kali berbelanja. Berbeda dengan masyarakat di
Indonesia yang masih menggunakan pembungkus plastik.
Dari produksi di pabrik seluas 5.000 meter persegi (m²) tersebut,
Paperocks mampu mencetak penjualan di pasar domestik sebesar Rp 18
miliar per tahun. "Jika ditambah ekspor, omzet bisa mencapai Rp 40
miliar per tahun," ujarnya.
Permintaan kemasan diperkirakan terus tumbuh. Ini disokong oleh ekspansi
waralaba resto di Indonesia. Catur yakin, pertumbuhan penjualan kemasan
Paperocks bisa mencapai 40 persen–50 persen per tahun.
Tinggalkan karier
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 2008 menjadi titik balik
kesuksesan Catur Jatiwaluyo di dunia bisnis. Pasca krisis ekonomi itu,
ia bersama dua orang rekannya mendirikan PT Paperocks Indonesia yang
fokus menggarap pasar domestik.
Ceritanya bermula ketika Catur diajak Dillon Sutandar dan Philip
Sumali untuk bekerjasama mendirikan usaha. Ketika itu, bisnis kemasan
milik kedua temannya itu tengah limbung diterpa krisis.
Gara-gara krisis, kedua temannya banyak kehilangan pesanan, baik di
pasar ekspor maupun pasar domestik. Lantaran sepi order, pabrik kemasan
milik temannya ini tidak jalan. “Teman saya lagi kebingungan, sebab dia
punya aset tapi tidak jalan,” kenang Catur.
Saat itu Catur sebenarnya sedang tidak ingin bekerja di tempat lain.
Soalnya, posisinya saat itu sudah cukup tinggi dengan jabatan country
manager di Detpack, perusahaan kemasan asal Australia. “Pada saat itu
saya bilang saya sudah nyaman,” ucap Catur.
Namun, kedua temannya itu terus membujuk dan meyakinkannya untuk ikut
mendirikan perusahaan patungan. Terus-terusan didekati, akhirnya hati
Catur luluh juga.
Pada 2011, mereka resmi mendirikan perusahaan kemasan makanan bernama PT Paperocks.
“Dan kebetulan juga hampir semua customer saya, yang sudah
jadi teman, juga mendukung,” tambah Catur. Saat pertama bergabung, Catur
urunan modal sebesar Rp 200 juta. Duit itu dimanfaatkan buat membeli
bahan baku.
Sementara, permesinan memanfaatkan mesin milik temannya yang sempat
vakum lama karena krisis 1998. Sampai saat ini, Catur memiliki 30 persen
saham perusahaan. Sedangkan sisanya dimiliki kedua temannya.
Selain dalam bentuk modal uang, yang banyak disumbang Catur ketika
awal mendirikan perusahaan adalah jaringan pelanggan. Dillon sendiri
sebenarnya pernah bekerja di Detpack sama seperti Catur.
Namun ketika itu ia fokus menangani ekspor, sehingga tidak memiliki pelanggan di domestik. “Saya yang network-nya ada di lokal,” ucap Catur.
Saat
awal berdiri, Catur dan kedua rekannya fokus menggarap pasar dalam
negeri. Sebab kondisi ekonomi belum memungkinkan untuk ekspor.
Catur mengaku tidak terlalu mengalami kesulitan dalam melakukan
pemasaran. Fokus di pasar domestik, pelan-pelan Catur berhasil
meningkatkan pangsa pasar di industri kemasan makanan di dalam negeri.
Ia tak menampik, banyak yang heran dengan kesuksesannya di pasar
domestik dalam waktu yang relatif singkat. “Saya ini sudah 11 tahun di
industri yang sama, sebenarnya teman-teman sendiri yang bantuin,”
ujarnya merendah.
Sukses di bidang pema-saran itu tidak didapat dengan mudah. Catur harus
gencar keliling daerah menemui relasi bisnisnya. Bahkan, hingga tahun
2012, ia belum sukses menembus pasar Surabaya. Padahal, Surabaya
merupakan pintu masuk pemasaran ke kota-kota lain di Jawa Timur.
Sumber : ??????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar